Makin rendahnya minat baca merupakan ancaman yang potensial mengganggu program peningkatan kualitas sumber daya manusia di segala bidang dan lapisan masyarakat lantaran ia bisa membikin tumpul kepekaan kita terhadap segala hal utamanya manusia dan kemanusiaan.
Tingginya animo masyarakat untuk membaca surat kabar dan majalah saat ini sebagaimana tampak di instansi pemerintah dan perpustakaan tidak bisa dijadikan patokan bahwa minat baca sudah meningkat. Perlu diketahui bahwa membaca koran dan majalah hanyalah usaha yang susah payah untuk mengoleksi informasi atawa untuk mengetahui peristiwa yang bersifat temporal atau sesaat. Orientasi para pembaca koran oleh karena itu bukanlah untuk menambah pengetahuan dan wawasan akan tetapi untuk menambah koleksi informasi.
Tidak berarti bahwa membaca koran tidak bermanfaat. Namun pengetahuan yang kita dapat dari sana sangat dangkal sifatnya. Sebagaimana sifat berita, orang akan jenuh bila informasi yang didapat telah selesai dibaca, namun tak berdampak apa-apa terhadap perilakunya. Pernahkah anda membaca pidato pelantikan Max Havelaar sebagai Asisten Residen Lebak yang sangat terkenal itu ? Hal-hal seperti inilah yang tidak akan mungkin didapat di koran-koran nasional apalagi koran lokal, kecuali kita mencarinya dalam buku.
Banyak kalangan yang menuding perkembangan teknologi audio visual semisal televisi sebagai biang kerok penyebab hilangnya minat baca buku tersebut. Benarkah ?
Di negara-negara maju seperti Jepang, Inggris dan Amerika kemajuan teknologi audio visual tidak berpengaruh sedikitpun terhadap tingginya minat orang membaca buku. Orang bisa saja menonton televisi setelah membaca atau sebaliknya. Di kereta api, di dalam bus kota, di pesawat udara orang tetap menikmati bacaannya tanpa terganggu dengan hal-hal lain misalnya percakapan yang tidak berguna alias hanya memperbesar tenggorokan saja.
Saya sendiri, meskipun baru membaca sedikit, sudah merasakan bedanya antara membaca buku dan menonton televisi misalnya. Dulu ada beberapa film yang dibuat berdasarkan cerita novel seperti Sitti Nurbaya, Atheis dan Sengsara Membawa Nikmat. Bagi pembaca yang tekun, tentu banyak yang merasa kecewa menonton film-film yang disadur dari cerita buku. Kenapa demikian ? Mungkin cerita yang disajikan televisi tidak lengkap dan tidak dapat kita jiwai lantaran ia adalah barang yang siap saji, kita tinggal melihatnya saja. Sementara itu membaca cerita film tersebut dalam versi aslinya akan sangat mengasyikkan karena kita membangun sendiri karakter tokoh-tokoh cerita dalam buku itu di kepala kita. Tak heran Goenawan Mohammad dalam salah satu kolomnya pernah mengutip iklan sebuah novel di Amerika yang berbunyi “Bacalah buku ini sebelum dirusak oleh Hollywood”
Di negara-negara maju secara berkala selalu diadakan pameran buku selain pameran alat-alat elektronik Yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya. Yang membaca buku hanyalah para ilmuwan, cendekiawan atau mahasiswa pasca sarjana yang akan menyusun disertasi serta para peminat buku yang jumlahnya sangat sedikit itu.
\Rendahnya minat baca mungkin juga adalah pengaruh latar belakang budaya kita yang memang tidak terbiasa dengan bacaan. Dulu para nenek moyang kita memperoleh ilmu dengan cara bertapa dan semedi atau berguru pada orang-orang pintar. Kepandaian yang selalu disampaikan secara lisan turun-temurun.
Selain kendala kultural seperti di atas, ada hambatan lain secara struktural hingga orang malas membaca.
Pertama : Harga buku yang sangat mahal sementara kondisi perekonomian masyarakat masih memprihatinkan. Orang tentu lebih memilih membeli kebutuhan pokok sehari-hari dari pada membeli buku. Asumsi ini tidak dapat dibenarkan sepenuhnya karena banyak orang yang secara ekonomi telah mampu justru tidak membeli buku. Mereka lebih memilih membeli hand phone terbaru (biasanya yang pakai kamera) buat anak-anaknya dari pada membeli buku. Pernahkah anda dengar ada orang tua yang memberikan hadiah ulang tahun berbentuk buku bacaan pada anaknya ?. Marwah Daud Ibrahim pernah berkisah bahwa pelajar dan mahasiswa sekarang banyak yang tidak tahu cara membuka buku ensiklopedi.
Kedua : Pola dan gaya hidup masyarakat kita yang memang tampaknya selalu ingin unjuk diri, pamer akan kelebihan-kelebihan dari segi materi. Kita belum pernah mendengar pujian misalnya “Wah bagus benar bukunya, buku seperti itu sudah langka lho di pasaran”. Yang akrab di telinga kita justru kata-kata seperti “ Wah bagus sekali ponselmu, berapa harganya ? apakah merek Nokia, Siemens, Motorola, Samsung. Wah pakai kamera lagi”. Pengetahuan yang kita peroleh melalui membaca buku memang tidak bisa tampak serta merta seperti pakaian misalnya. Ia adalah asset yang hanya dapat disimpan untuk sekali-sekali digunakan.
Ketiga : Adanya kesalahan persepsi terhadap membaca. Membaca dianggap sebagai pekerjaan yang membuang –buang waktu saja. Tidak efektif. Bahkan orang yang rajin membaca mendapatkan julukan yang aneh yakni kutu buku. Ia hanya dianggap sejenis serangga yang mengganggu kehidupan orang-orang. Persepsi inilah yang harus diluruskan di masyarakat Padahal membaca merupakan pekerjaan yang berat karena ia membutuhkan konsentrasi tinggi dan olah pikiran yang tidak main-main.
Keempat : kurangnya fasilitas membaca bagi masyarakat umum yang dibangun oleh pemerintah. Program peningkatan minat baca sebagaimana selalu didengungkan pemerintah tidak akan berdampak apa-apa tanpa dibarengi dengan fasilitas bacaan untuk publik. Perpustakaan daerah hanya satu dengan koleksi buku yang sangat memprihatinkan. Buku berjudul Hantu Marxisme Membayangi Dunia misalnya baru tiba di Sultra akhir tahun lalu padahal di Jawa buku itu sudah hampir dilupakan orang. Bayangkan, perpustakaan daerah Sultra tidak punya satupun koleksi buku Di Bawah Bendera Revolusi (kumpulan tulisan Bung Karno).
Bagaimana ini pak Presiden SBY ?