Dunia politik penuh dengan intrik
Cubit sana-cubit sini itu sudah lumrah
Seperti orang pacaran
Kalau nggak nyubit nggak asik
(Iwan Fals-Asik Nggak Asik)
Iwan Fals menyanyi tentang politik. Dalam kacamata Iwan, (bila menyimak seluruh isi lagu) politik dapat ditafsirkan sebagai sesuatu yang kotor, najis dan polutan. Pendapat seperti itu selaras dengan apa yang pernah dikemukakan oleh seorang negarawan Italia di abad 16 : Niccolo Machiavelli.
Tentu saja politik sendiri tidak dapat diartikan secara pukul rata seperti itu. Dalam arti sesungguhnya politik sebenarnya adalah mencari dan memilih jalan yang disepakati bersama menuju hal-hal yang lebih baik. Namun tulisan ini hanya akan mencoba melihat sisi lain politik sebagaimana penilaian kebanyakan orang saat ini yakni dengan cara Machiavelli melihat politik.
Machiavelli, mungkin merupakan politikus dan negarawan paling kontroversi sepanjang sejarah. Pandangan-pandangannya yang kemudian digolongkan sebagai Machiavellianisme pun berkembang beranak pinak. Salah satu sebab mengapa faham ini begitu populer adalah lantaran ia membuang sejauh mungkin kaidah-kaidah moral dan etika dalam dunia politik.
Dalam buku Il Principe (Sang Penguasa) kita bisa melihat bagaimana nasehat Machiavelli kepada para penguasa. Kata Machiavelli : Seorang pemimpin atau penguasa harus tahu berjuang dengan hukum dan berjuang dengan kekerasan. Ia harus tahu menggunakan cara-cara manusia tetapi juga cara-cara binatang. Seorang pemimpin atau penguasa harus bisa menepati janji, tetapi apabila janji itu akan merugikan dirinya sendiri maka ia tak perlu menepati janjinya. Seorang pemimpin atau penguasa tak perlu memiliki sifat-sifat baik tapi sangat perlu tampak seakan-akan memilikinya. Hipokrisi ? Kemunafikan ? Entahlah. Yang jelas semua itu sepertinya terasa akrab bagi sebagian kalangan di bangsa kita.
Kita bisa saja tidak setuju dengan nasehat seperti itu lantas membuat penafsiran sendiri yang katanya harus sesuai dengan norma-norma, kaidah dan etika politik kita sebagai orang timur. Kita punya Pancasila kok, kita punya asas gotong royong dan kekeluargaan kok, berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Benarkah demikian ? Bukankah Pancasila hanya bisa ditafsirkan oleh dan untuk kepentingan yang berkuasa saja ? Bukankah gotong royong dan kekeluargaan hanya berlaku untuk rakyat biasa saja, sedang yang di atas tidak pernah melakukannya ? Tidakkah asas kekeluargaan hanya dimaknai sebagai nepotisme ? Bukankah berat sama dipikul ringan sama dijinjing tetapi semuanya dipikul oleh rakyat baik yang berat maupun yang ringan. Dengan kata lain berat sama dipikul ringan sama dijinjing tinggal menjadi pepatah dalam buku pelajaran bahasa Indonesia sekolah dasar ?
Terus terang kalau kita mau jujur, ajaran Machiavelli yang banyak dikecam, dikutuk sekaligus dipuji itu, sebenarnya diam-diam kita praktekkan dengan baik dan tanpa malu-malu. Tengoklah di sekeliling kita bagaimana semua itu terjadi : pejabat publik membohongi rakyat, wakil rakyat membohongi rakyat, penguasa dan pengusaha membohongi rakyat, aparat negara membohongi rakyat. Dengan kejadian seperti itu bagaimana rakyat tidak merasa frustasi ? Bohong telah menjadi menu kita sehari hari. Korupsi merajalela. Suap-menyuap dibudayakan. Kolusi dan nepotisme menjadi kebanggaan. Hukum ditafsirkan berdasarkan kepentingan masing-masing orang. Dan semua itu terjadi persis di suatu tempat yang pintu gerbangnya bertuliskan : Negara Republik Indonesia.
Dunia politik dunia bintang, tempat pesta pora para “binatang” kata Iwan. Kata binatang (dalam tanda kutip) sebagaimana juga dikatakan Machiavelli termanivestasi dengan baik dalam hidup keseharian kita. Percaya ? Tidak percaya ? Wallahualam Bissawab (**)
0 komentar
Posting Komentar