Mengapa Gibran Dikagumi?

Diposting oleh Arsyad Salam | Selasa, Januari 29, 2008 | | 0 komentar »


Judul Buku: Cinta, Keindahan, Kesunyian
Pengarang : Gibran Khalil Gibran
Penerbit : Bentang Budaya Yogyakarta 1991

Khalil Gibran adalah oase di tengah ladang tandus cinta kasih nan kering kerontang. Orang Yahudi kelahiran Besshari Lebanon 6 Januari 1883 ini mungkin merupakan satu-satunya penulis yang menjadi bahan perdebatan seru para ahli multi bidang hingga hari ini. Sastra yang diusungnya ibarat kilat bersabung dalam rimba raya. Dikecam sekaligus dirindukan. Tulisan-tulisannya disinyalir merupakan pencerahan sufisme, metafisika dan kidung cinta sekaligus, meskipun tak jelas benar agama yang dianutnya. Gibran sendiri menurut pengakuannya merindukan agama yang bisa menjadi panutannya: agama cinta kasih. Jadi ia tak beragama. Orang besar.
The Enening Transkrip pada 19 Maret 1927 menanggapi tulisan-tulisan Gibran dalam satu kalimat singkat: ”Kahlil Gibran nampak seperti perpaduan yang indah antara Tagore, Nietzsche dan Sigmund Freud”. Mengapa karya-karya Gibran banyak diperdebatkan?. Saya juga tak tahu. Ahli sastra yang pandai mungkin bisa menjawabnya. Yang jelas pengagum Gibran kian bertambah banyak, sampai-sampai orang juga salah menulis namanya. Seharusnya Gibran Khalil Gibran. Bukan Kahlil Gibran seperti tertera pada sampul-sampul buku yang beredar di sini. Mengapa banyak orang terpesona pada Gibran setelah membaca karyanya? Pertanyaan ini hanya bisa dijawab oleh para pembaca Gibran sendiri. Saya sendiri berpendapat kira-kira begini: Membaca karya-karya Gibran khususnya Cinta, Keindahan, Kesunyian dengan penghayatan yang baik niscaya kita merasa tak berpijak di bumi, melainkan di negeri antah berantah yang penuh dengan cahaya kilau putih yang aneh. Paling kurang ia memberikan satu cita rasa tersendiri yang entah kenapa saya juga sulit menjelaskannya. Buku tersebut di atas berisi kumpulan tulisan-tulisan Gibran yang telah dibukukan sebelumnya antara lain Tujuh Diri, Maria Magdalena, Biarkan Aku Pergi Dalam Damai, Serta Sayap-Sayap Cinta. Satu kalimat yang paling saya ingat dalam Sayap-Sayap Cinta adalah ”Cinta ibarat burung yang indah, ingin ditangkap tapi menolak disakiti”.

0 komentar