Quo Vadis Reformasi Indonesia?

Diposting oleh Arsyad Salam | Minggu, Januari 27, 2008 | | 0 komentar »


Syahdan di abad ke 3 sebelum masehi, di Yunani Kuno, Sokrates ahli filsafat yang streng itu pernah mengejek demokrasi. “Demokrasi, katanya ,hanya kian memperburuk keadaan. “Apa yang yang akan dilakukan oleh para tukang batu, pandai besi dan para pematung itu andai mereka terpilih ke tribun rakyat dan jadi pemimpin?

Seandainya pertanyaan Sokrates itu diucapkannya di Indonesia hari-hari ini, pasti ia dikecam habis-habisan oleh para tukang batu dan rupa-rupa tukang lainnya. Bukan apa-apa, soalnya di Indonesia sekarang sedang bersemi demokrasi. Bahkan sudah kebablasan.

Asas persamaan hak bagi setiap orang, itulah yang ditentang Sokrates sejak awal. Utamanya hak untuk memilih dan dipilih. Tapi apa lacur, persamaan hak itulah yang dikemudian hari berkembang beranak pinak sebagai buah dari dekmorasi. Dan di Indonesia pun terjadilah reformasi.

Sejak genderang reformasi ditabuh dengan demokrasi sebagai panglimanya, kita pun mengalami perubahan yang ekstrim. Kini semua orang bebas bicara. Bebas berekspresi. Bebas mengkritik pemerintah. Bahkan imbasnya, orang-orang pun kini bebas melawan pemerintah, aparat hukum dan juga berani merusak fasilitas umum.

Nah sekarang mari kita evaluasi kinerja pemerintah di era reformasi ini. Bagaimana kinerja pemerintah kita? Apakah sudah baik? Sayang jawabannya adalah belum. Bagaimana kondisi perekonomian kita? Jawabnya juga kabar buruk. Dan kondisi politik? Inilah yang kian memperburuk keadaan. Partai politik berlusin-lusin, dengan para politisi yang kualitasnya nol.

Dan anggota parlemen? Wah jangan tanya kondisi bangsa pada mereka karena saat ini mereka sedang sibuk-sibuknya menyusun siasat menyetel undang-undang parpol agar mereka kelak terpilih kembali sebagai wakil rakyat.

Dan suara rakyat pun tinggal pepatah lama bernada manis ”Vox populi vox dei atau vox populi supreme lex” dengan realita yang sungguh memiriskan hati. Aspirasi rakyat kini tertutup rapat dalam laci meja anggota dewan yang katanya terhormat itu.

Dan kita pun teringat Sokrates. Andai ia masih hidup, mungkin akan menertawai kita sembari bergumam ”Benarkan apa yang saya akatakan?. (**)

0 komentar