Orang Cina dan Kita

Diposting oleh Arsyad Salam | Minggu, Maret 02, 2008 | | 0 komentar »

Mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew mungkin orang yang luhur tapi mungkin juga tidak. Kita ingat Bapak bangsa keturunan hoaikiau itu pernah mengatakan bahwa bangsa-bangsa tetangganya yang punya ras melayu adalah bangsa yang tidak intens, tidak kreatif lagi malas. Namun anehnya mereka paling doyan berbelanja, berleha-leha tanpa mau banting tulang Kebudayaan melayu kata Lee memang membuka peluang bagi rasa malas sonder kerja tapi cepat ingin kaya tanpa mau peras keringat. Sementara itu Singapura yang memang mayoritas hoaikiau tergolong bangsa yang tekun dan ulet dalam berusaha. Mereka tak ngoyo atau ogah-ogahan. Benarkah demikian ?

Tunggu dulu. Sejarah belum selesai mencatat dan Lee ternyata tidak asal ngomong. Coba kita lihat statistik. Di lapangan bisnis, hanya segelintir orang kita yang berkutat di bidang ini. Sementara itu warga keturunan Cina yang populasinya hanya 5 persen dari total penduduk, hampir mendominasi perekonomian Indonesia. Pendapat Lee tersebut seakan mendapat stempel pengesahan manakala pemerintahan Orde Baru membuka peluang bagi mereka untuk berusaha. Kelompok pengusaha pribumi yang memang belum terbiasa dalam iklim persaingan akhirnya pada keok dan berguguran.

Banyak pendapat mengatakan bahwa kekalahan Indonesia di rumahnya sendiri tidaklah terjadi serta-merta. Semua itu kata orang adalah faktor budaya kita yang memang tidak menumbuhkan iklim kompetitif secara sehat bila tidak diberi proteksi oleh pemerintah.

Menurut data Leo Suryadinata sebagaimana dikutip Eep Saefullah Fattah, di Indonesia, dominasi ekonomi Cina terjadi di tengah minoritasnya orang Cina dibanding pribumi. Pada tahun 1980 misalnya, hanya ada sekitar 4 juta orang Cina (2,8%) dari 147 juta penduduk Indonesia. “Pada saat yang sama sebagaimana ditunjukkan Yahya Muhaimin, dari 41,25% investasi modal domestik, 26,95% adalah modal orang Cina dan hanya 11,20% modal pribumi” kata Eep Saefullah Fattah.

Bila kita melacak lebih jauh, beda populasi antara pengusaha Cina dan pribumi kian terang. Dari 200 konglomerat yang bisa diidentifikasi, hanya 37 konglomerat pribumi yang omzetnya di bawah Rp 1 triliun. Berdasarkan jumlah asset yang dimiliki maka ada 10 konglomerat Cina yang masuk ranking. Di antaranya ururtan pertama tentu saja Sudono Salim alias Liem Sioe Liong. Menyusul Prajogo Pangestu alias Phang Djun Phin, Eka Tjipta Widjaya alias Oei Ek Tjhong, Michael Bambang Hartono alias Oei Hwei Siang dan lainnya.

Kita pun tertegun bila tahu bahwa mereka itu juga punya hubungan sangat mesra dengan penguasa. Kita pun iri dan menelan itu semua seraya menyaksikan kondisi perekomian kita yang porak-poranda dihantam krisis. Lee Kuan Yew mungkin benar ketika mengatakan bahwa ras melayu memang bukanlah pekerja keras. Tapi apakah asumsi Lee tersebut dapat dibenarkan ? Tidak, kata SH Alatas.


SH Alatas adalah Guru Besar pada Jabatan Pengajian Melayu di Universitas Nasional Singapura. Dalam bukunya yang terbit 1988 berjudul Mitos Pribumi Malas, Alatas mengecam pendapat yang mengatakan bahwa ras Melayu adalah pemalas. Menurutnya, ada kesalahan fatal dalam menilai ras Melayu bila mengikuti pendapat para ahli dari barat.
Kesalahan itu kata Alatas pula lantaran kita melihat orang Melayu dengan kacamata seperti itu. Dan itu sangat menyesatkan. Ia hanyalah mitos yang sengaja ditiupkan oleh kaum kolonialisme agar kekuasaannya di tanah jajahan bertambah kukuh. Ada seorang ahli bernama FA Swettenham yang menulis beberapa ciri orang Melayu yakni kebenciannya terhadap kerja keras yang terus menerus baik dengan otak maupun dengan tangannya.
Para penjajah itu-yang juga membawa para ahli-selalu membandingkan orang Asia khususnya Melayu dengan kaum pekerja pabrik di Eropa abad 19.
Para pekerja pabrik Eropa memang sangat giat bekerja karena orientasinya memang pada keuntungan semata. Sementara itu orang Melayu bekerja tanpa standar seperti itu. Orang Melayu juga bekerja tanpa ukuran waktu, merekalah yang mengatur waktu, bukan sebaliknya. Sebagaimana Rafless, anggapan Lee Kuan Yew mungkin saja berangakat dari sana.

Apa boleh buat, kita memang tidak punya pledoi yang cukup atas pendapat seperti itu. Kita bisa lihat misalnya derasnya arus orang kita yang berbelanja di Singapura sementara mereka tahu bahwa Indonesia adalah negara yang miskin untuk ukuran Asia. Alatas memang telah menyatakan bahwa asumsi malas ras Melayu adalah rekayasa barat, namun kita sepertinya tak kepingin membuktikan itu. Kita pun terus dipertontonkan dengan segala rupa kejadian yang membenarkan bahwa kita memang tergolong bangsa yang tidak intens.

Di tahun 70-an dulu kita dihebohkan kasus Komisi Haji Tahir di Pertamina. Harta hasil korupsinya lantas disimpan di sebuah bank di Singapura, tepat di depan hidung Lee Kuan Yew. Tentu saja Lee bertepuk tangan untuk itu. Tapi mau apa kita ? (**)




0 komentar