Fatwa Angin Lalu

Diposting oleh Arsyad Salam | Minggu, Februari 01, 2009 | | 23 komentar »



Logika berpikir anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) sepertinya jungkir balik belakangan ini. Fatwa-fatwa yang mereka keluarkan mengandung dan mengundang polemik dikalangan orang ramai. Setelah fatwa haram rokok, muncul haram golput. Yang paling anyar ada lagi haram yoga. Mungkin tak lama lagi akan muncul fatwa haram SMS premium, haram sinetron, haram infotainment dan lain sebagainya.

Haram Rokok

Mengharamkan rokok ibarat melarang anak ayam makan di lumbung padi miliknya sendiri. Pabrik rokok ratusan jumlahnya. Menafkahi jutaan karyawannya. Menghidupi petani tembakau, petani cengkeh. Membayar pajak kepada negara triliunan tiap tahun. Kalau mata rantai ini terputus siapa yang merasakan dampaknya? Pasti jutaan keluarga yang bekerja di sektor ini. Mungkin anggota MUI juga makan gaji dari pajak cukai tembakau yang mereka haramkan itu.

Mengenai haramnya rokok, tak semua ulama sependapat. Kalau memang tembakau haram hukumnya, seharusnya sejak agama Islam lahir hukum itu sudah ada. Mengapa baru sekarang? Dengan alasan yang dicari-cari saja?

Haram Golput

Ini yang lebih aneh. Di era Soeharto yang katanya kejam itu, golput alias golongan putih tidak diharamkan hanya dilarang. Artinya, pemerintahan Soeharto lebih melihat golput dari sisi politik kenegaraan, bukan agama. Di era demokrasi seperti sekarang mengharamkan golput seperti menggarami air laut atau membakar matahari.

Konsekwensi dari negara demokratis adalah bahwa setiap warga negara berhak memilih, dipilih maupun tak memilih. Bersikap tidak memilih adalah juga suatu pilihan. Mengaharamkan golput oleh karena itu mengandung suatu paradoks bahwa jika seseorang tidak memilih berarti haram hukumnya. Artinya jika kita tidak menggunakan hak pilih kita tergolong orang-orang berdosa. Beberapa masalah teknis akan timbul menyusul fatwa ini.

Pertama, bagaimana dengan orang-orang yang salah mencontreng saat masuk TPS? Pasti suaranya dianggap batal alias tak memilih. Ini sama saja dengan golput. Juga orang-orang lanjut usia yang dapat dipastikan akan salah contreng. Bagaimana dengan mereka ini? Kalau misalnya di antara calon yang akan dipilih tak ada satupun yang berkenan di hati para pemilih, apa yg harus dilakukan? Tetap memilih meski berbohong pada diri sendiri? Kan berdosa juga?

Kedua, ada pernyataan menarik dari salah seorang anggota MUI saat wawancara dengan sebuah stasiun televisi. Menurutnya dengan mengharamkan golput mereka berharap agar tercipta pemerintahan yang legitimate. Pemerintahan yang kuat karena didukung rakyat melalui pemilihan umum. MUI sepertinya lupa, bahwa ligitimasi suatu pemerintahan tak bisa diukur dengan jumlah dukungan suara dalam pemilu. Pemerintahan yang kuat akan tercipta bila pemimpin yang berkuasa mampu membangun hubungan yang baik dengan rakyat. Di negara totaliter, gaya paksaan memilih orang tertentu dalam pemilu sangat dominan. Tapi apa yang terjadi? Rakyat yang memilih, rakyat juga mengkudeta mereka.

Walhasil MUI sepertinya harus jeli menentukan apa saja yang akan difatwakannya, hingga tidak terkesan sebagai lembaga murahan yang gampang menyatakan halal-haram terhadap sesuatu. Jangan sampai hanya menjadi fatwa angin lalu.



Gedung Kendari Teater

Diposting oleh Arsyad Salam | Kamis, Januari 29, 2009 | | 1 komentar »


Dulu Putar Film, Sekarang Putar Caleg


Jika anda adalah warga Kota Kendari pasti tahu yang namanya gedung Kendari Teater. Di tahun 80-an dulu gedung ini merupakan pusat hiburan dan barometer keramaian Kota Kendari. Letaknya yang strategis (tepat di kompleks pelabuhan) menjadikan Kendari Teater sebagai tempat hiburan paling laris dan padat pengunjung. Saat itu Kerndari Teater adalah satu-satunya bioskop layar lebar di Kota ini. Pengunjung membludak, pemilik gedung panen rupiah dari para penonton yang berjubel memberi karcis tanda masuk.

Tapi itu dulu. Sekarang?

Sekarang gedung ini telah beralih fungsi. Dari tempat pemutaranh film menjadi tempat pemutaran baliho para calon anggota legislatif. Dikatakan pemutaran baliho lantaran baliho baliho itu sepertinya digantung secara bergilir. Bulan ini baliho di pulan. Bulan depan baliho si badu dan seterusnya. Maka jadilah gedung Kendari Teater sebagai sarana kampanye para politisi lokal.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan baliho-baliho itu. Keadaan juga yang membuat bekas bioskop ini jadi seperti sekarang.

Gedung ini mulai ditinggalkan orang ketika media informasi dan hiburan mengalami perkembangan yang demikian pesatnya. Perkembangan dunia hiburan yang begitu cepat menjadikan bioskop sebagai tempat hiburan yang tidak lagi masuk perhitungan daftar pilihan tempat hiburan masyarakat. Orang toh bisa menikmati tontonan sekelas bioskop di rumah sendiri dengan membeli televisi layar lebar atau Home Teater . Dengan home teater ini, orang tak perlu lagi berdesakan nonton di gedung.

Di senjakala hidupnya itu, Kendari Teater terus mengalami pukulan hebat, ditinggalkan penonton karena sering memutar film murahan yang obral seks secara vulgar. Bersamaan dengan itu lahir pula bioskop tandingan yang meniru gaya bioskop-bioskop di Jakarta yakni Hollywood Sineplek.

Kendari Teater pun seperti tenggelam ditelan bumi. Kalau tak salah sekarang gedung ini menjadi sebuah pub yang dikelilingi panti pijat. Melihat gedung bekas bioskop ini sungguh seperti kita sedang menyaksikan bangkai kapal Titanic. Setiap kali melihatnya, kita seakan dibawa ke masa silam. Suatu masa ketika bioskop ini masih jaya-jayanya. Ada satpam yang berjaga-jaga. Ada petugas loket yang menjual tiket dan adapula petugas pintu yang mengatur tempat duduk penonton. Dan nun di bagian atas gedung ada operator pemutar film. Entah di mana mereka itu kini berada.