Havelaar

Diposting oleh Arsyad Salam | Kamis, Desember 27, 2007 | | 0 komentar »


Tuan-tuan Kepala Negeri Lebak
Jika ada orang di antara kita yang melalaikan kewajibannya
Untuk mencari keuntungan, yang menjual keadilan demi uang
Atau merampas kerbau dari orang miskin dan buah kepunyaan orang yang lapar
Siapa yang akan menghukumnya ………….?

(Multatuli-Max Havelaar)

Kalimat di atas saya kutip dari pidato terkenal Asisten Residen Lebak Max Havelaar saat pertama menginjakkan kaki untuk melaksanakan tugas di daerah yang miskin itu di awal tahun 1856. Pidato tersebut konon membuat gusar para demang yang secara de vacto memang berada dibawah kuasa sang asistan residen. Syahdan Havelaar telah lama dan banyak tahu ulah para demang ini yang menurut Max sewenang-wenang serta menghisap rakyat.

Ironisnya masyarakat tak sependapat dengan Asisten Residen sendiri. Rakyat menganggap tidak tanduk para demang adalah hal jamak. Dalam struktur kekuasaan raja-raja jawa dahulu, seorang kawula memang harus setia dan taat pada junjungannya, tanpa reserve. Di situlah sulitnya posisi Havelaar dalam memperjuangkan keadilan di daerah yang kemudian dikenal dengan Banten Kidul ini.

Max Havelaar memang tipikal buat orang kolonial sezamannya. Pada saat para penguasa Belanda-yang dibantu para demang-menjadi kaum penindas ditanah jajahan, Havelaar datang menjadi “penolong” rakyat. Dan untuk itu ia harus menanggung konsekwensi yang tak ringan: diberhentikan sebagai Asisten Residen.

Max melihat-tentu dengan kacamata barat-bahwa penderitaan rakyat kala itu sebenarnya disebabkan oleh para penguasa bawahan. Juga karena mental masyarakat yang masih beranggapan bahwa rakyat harus tunduk dan takluk kepada penguasa mereka. Mengapa hal seperti itu dapat terjadi ?

Dalam sejarah mungkin kita tak akan tahu dengan pasti. Namun dalam roman terkenal Max Havelaar karangan Multatuli atau Dowwes Dekker, digambarkan secara gamblang bagaimana tingginya previlese para demang dan wedana kala itu. Banyak persembahan yang diserahkan orang ramai sebagai tanda setia mereka. Bahkan para demang selalu mengerahkan rakyat untuk mengerjakan sawahnya, tanpa bayaran. Itulah yang antara lain dilihat oleh Havelaar sebagai kesewenang-wenangan.

Konon kelakuan para demang ini kemudian oleh Hevelaar dilaporkan pada atasannya di Bogor. Namun jawaban yang datang kemudian sangat menusuk hati Asisten Residen yang pada awal roman mengaku sebagai makelar kopi di Amsterdam itu. Ia tak dibela. Padahal sebagaimana kita tahu, perjuangan Havelaar untuk menegakkan keadilan di Lebak sangat jelas.

Yang jadi soal kemudian adalah : mengapa kesadaran untuk membela rakyat tertindas kala itu datang dari orang seperti dia ? Sekali lagi kita tak tahu. Yang jelas advokasi Havelaar terhadap rakyat pribumi menunjukkan satu hal : Ia punya hati nurani, yang memang sangat universal sifatnya. Dengan kata lain ia tak memilih pada siapa ia harus berada. Saya teringat judul sebuah buku yang sangat menarik berisi polemik Soekarno dan Moh Hatta : Hati Nurani Melawan Kezaliman. Mungkin itulah yang paling tepat untuk menggambarkan sikap Havelaar saat itu.

Maka ketika Havelaar bertanya,bila ada penguasa yang merampas kerbau orang miskin dan buah kepunyaan orang yang lapar siapa yang akan menghukumnya ? Itulah pertanyaan klasik sebetulnya. Namun jawabnya tak mudah. Pun hingga hari-hari ini.(**)

Korupsi

Diposting oleh Arsyad Salam | Kamis, Desember 27, 2007 | | 0 komentar »


Syahdan tersebutlah seorang prajurit dan negarawan terkemuka Athena bernama Kimon. Pada suatu hari di tahun 463 SM, lelaki ini bersua dengan nasib yang aneh. Dia ditangkap dan kemudian diadili di mahkamah Athena yang terkenal itu atas tuduhan menerima suap dari Raja Macedonia, Aleksander Yang Agung.

Berindak selaku jaksa penuntut dalam sidang hari itu adalah filsuf terkenal Yunani, Pericles. Dalam tuntutannya, seraya memberi bumbu di sana sini, Pericles yang pernah diejek Sokrates sebagai penggembala yang gagal mendakwa Kimon bahwa perwira Athena yang terkenal lurus tersebut telah melakukan penghianatan kepada negara karena menerima suap dari Raja Aleksander.

Tentu saja Kimon membela diri. Dia membantah telah menerima suap dari sang raja Macedonia. Kimon mengaku bahwa kekayaan yang dimilikinya berasal dari gajinya yang sah sebagai seorang tentara berpangkat tinggi. Sebagian hartanya itu kemudian digunakan untuk merebut hati orang miskin. Ia menyediakan makanan gratis bagi warga Athena. Juga memberi pakaian pada orang-orang yang lanjut usia. Itu dilakukan agar ia dapat terpilih kembali sebagai pimpinan militer.

Ternyata kemudian terungkap, bahwa tuntutan terhadap Kimon hanyalah bohong-bohongan. Itu adalah akal-akalan Pericles semata untuk menjatuhkan Kimon dari posisinya. Alasannya : karena Pericles sendiri tidak mampu mengumpulkan kekayaan sebanyak itu. Ia iri.

Pericles lantas mencari akal. Atas nasehat Demonides, rekannya dari Oa, disusunlah suatu muslihat, dengan mengadakan jamuan makan besar-besaran. Pada saat itulah Pericles ke sana kemari menyogok setiap anggota juri kasus Kimon yang memang sengaja diundang dalam jamuan itu. Tentu saja disertai bisikan dengan maksud memberatkan posisi Kimon di pengadilan.

Kita tak tahu apakah Kimon bebas dari tuntutan. Kisah itu terlampau panjang untuk ruangan ini. Saya membacanya dalam sebuah buku yang sangat menarik tentang sejarah suap dan korupsi yang ditulis oleh Guru Besar Pengajian Melayu di Universitas Nasional Singapura, Syed Hussein Alatas. Buku yang berjudul Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi itu menunjukkan dengan sangat bagus bagaimana suap dan korupsi berjalan termasuk daya rusak yang ditimbulkannya. Juga bahwa korupsi telah terjadi sejak zaman batu. Ia bagaikan warna darah yang tua dan hingga kini belum ada formula yang ampuh untuk membasminya.

Berbicara mengenai daya rusak korupsi kita teringat pada seorang ahli ekonomi Indonesia : Kwik Kian Gie. Tokoh PDI-P yang terkenal kritis ini mengatakan “Kerusakan oleh korupsi (KKN) yang sudah menjelma menjadi kerusakan pikiran perasaan,moral, mental dan ahlak membuahkan kebijakan-kebijakan yang sangat tidak masuk akal “.

Menurut Kwik, akibat lebih parah yang timbul kemudian adalah perasaan bahwa korupsi bukan merupakan suatu kejahatan. Orang menganggap korupsi sebagai hal yang jamak dan biasa terjadi. “Pikiran para penguasa yang sudah tidak waras lagi mengakibatkan kerusakan luar biasa pada masyarakat dan rakyat yang dipimpinnya” katanya.

Kalimat Kwik memang tajam dan langsung menohok.Tapi dia bukannya tanpa bukti. Dalam bukunya yang baru terbit berjudul "Pemberantasan Korupsi untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan dan Keadilan, Kwik mensinyalir sembari memberi contah di sana sini. Ada pajak yang dibayar oleh pembayar pajak tetapi tidak masuk ke kas negara. Jumlahnya tak main-main : Rp 240 triliun. Ada pula kebocoran APBN sebesar 20 persen yaitu Rp 74 triliun. Di lain pihak terjadi pencurian pasir, kayu dan ikan yang nilainya mencapai Rp 90 triliun. Sementara bank yang tak kunjung sehat terus disubsidi dengan total bantuan Rp 40 triliun. Berapa nilai uang yang terbuang percuma akibat terjadinya korupsi seperti di atas ?

Jawaban Kwik Kian Gie adalah kabar buruk : Rp 444 triliun ! (dengan tanda seru). Artinya jumlah ini jauh lebih besar dibanding APBN tahun 2003 yang hanya Rp 370 triliun. Daya rusak korupsi menyebabkan kita terus ketagihan bantuan seperti orang yang seribu kalah porkas. Negara tidak dapat melaksanakan pembangunan tanpa bantuan lembaga internasional.

Seperti Mahathir Mohammad, Kwik juga sangat anti IMF. Di mata Kwik, IMF dan badan donor lainnya adalah lembaga rente yang perlu dihindari. Paket bantuan IMF misalnya disertai dengan coditionalities yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Akibatnya bangsa kita terus didikte oleh pemberi bantuan. ”Kalau kita baca setiap Letter of Inten, kita tidak dapat melepaskan diri dari kenyataan bahwa yang memerintah Indonesia sudah bukan pemerintah Indonesia sendiri. Jelas sekali bahwa kita sudah lama merdeka secara politik, tetapi sudah kehilangan kedaulatan dan kemandirian dalam mengatur diri sendiri “ katanya menggerutu seperti orang yang putus asa.(**)

Indonesia Negeri Sejuta Bencana

Diposting oleh Arsyad Salam | Rabu, Desember 26, 2007 | | 0 komentar »


Bencana tanah longsor yang terjadi di Jawa Tengah Rabu (26/12/07) yang menelan korban ratusan jiwa itu kian menambah panjang daftar malapetaka yang terjadi di Republik ini. Belum lagi bencana lainnya baik akibat fenomena perubahan alam maupun akibat keserakahan kita. Maka hari hari ini pun kosa kata dalam bahasa keseharian kita terus berkutat pada banjir, tanah longsor, angin puting beliung, gempa bumi dan lain-lain.

Kita tidak menyoal perihal bencana yang terjadi di luar kuasa kita. Yang menjadi soal adalah bencana-bencana yang sebenarnya dapat diprediksi jauh hari sebelumnya. Misalnya banjir dan tanah longsor. Mengapa pemerintah cenderung hilang akal menghadapi hal seperti itu? Mengapa pemerintah selalu terlambat mengantisipasi bencana2 yang gejalanya tampak terang benderang?. Kita selalu dibuat sibuk dan menyibukkan diri setelah bencana terjadi bukan melakukan pencegahan yang baik sebelum malapetaka mendera kita.

Tengoklah kasus naiknya air laut di Jakarta Utara beberapa waktu lalu. Bencana itu sebenarnya telah diprediksi jauh sebelumnya. Hanya karena kurangnya kepekaan pemerintah ditambah sikap masa bodoh warga, akhirnya bencana itu memporak-porandakan ibukota.

Maka yang tampak kemudian adalah sebuah karikatur mengenai wajah bangsa kita kini. Pemerintah tidak peka. Rakyat tak lagi peduli terhadap lingkungan dan selalu bertopang pada bantuan pemerintah. Yang terjadi adalah saling menyalahkan. Rakyat menyalahkan pemerintah. Sementara itu pemerintah selalu menjadikan minimnya dana sebagai kambing hitam.

Melihat penanganan bencana yang terkesan tiba masa tiba akal itu, kitapun menjadi iri jika menengok penanganan bencana serupa oleh negara-negara tetangga kita. Pemerintah di negeri jiran sangat tanggap membaca tanda2 bencana dan cekatan dalam menangani bencana yang terjadi di sana. Dan kita ???

Dan kitapun kian prihatin manakala mendapat gelar negeri sejuta bencana. Bukan hanya bencana alam, tapi juga bencana-bencana lainnya. Bencana korupsi, hilanganya rasa persekutuan bersama, bencana narkoba dan bencana hukum dan peradilan di republik tercinta ini..... Wallahualam Bissawab. (**)

Tentang Blog Ini (Prolog)

Diposting oleh Arsyad Salam | Senin, Desember 24, 2007 | | 1 komentar »



Hakekat Pengetahuan adalah mengetahui bahwa kita tidak tahu apa-apa (Sokrates)


Selamat datang di newsblogmedia.....

Blog ini merupakan wahana kreatifitas saya dalam menuangkan ide, gagasan maupun kritik terhadap apa saja yang terjadi di sekeliling kita. Tak peduli apakah dia dibaca atau tidak. yang jelas saya telah berupa menulis dan memberitakan opini yang ada dalam kepala saya. Bahwa saya menyalurkan minat menulis ini lewat blog itu adalah lain hal.

Suatu ketika saya berada si sekolah untuk menjemput anak saya yang baru duduk di kelas dua SD dalam Kota Kendari. Saat itu pelajaran masih berlangsung dengan materi muatan lokal alias Mulok. Sang guru sedang mangajarkan arti dua kata yakni Moburi dan Mobasa. Tanpa sadar saya juga ikut menyimaknya.


Saya tertarik sekali pada dua kata itu dan terus menerus memikirkannya. Moburi dan Mobasa adalah dua kosa kata dari bahasa etnis Tolaki yang mendiami jazirah daratan Sulawesi Tenggara. Secara harfiah dua kata itu berarti menulis dan membaca.

Menulis oleh sebagian orang memang hanya ditafsirkan secara sempit yakni suatu pekerjaan menggoreskan kata-kata pada suatu media tertentu. Padahal menurut saya tidaklah demikian adanya.

Kegiatan menulis sejatinya adalah suatu ikhtiar yang susah payah dalam menuangkan gagasan, pendapat maupun pikiran. Menulis oleh karena itu buklanlah pekerjaan mudah. Saya sendiri telah merasakannya. Menulis dengan kata lain merupakan barometer sejauhmana hubungan keakraban kita dengan bahasa.

Sampai di sini maka akan muncul suatu masalah baru yang tak kalah pentingnya yakni membaca. Seorang penulis tentu harus memiliki perbendaharaan kosa kata yang mumpuni, banyak jumlahnya dan aneka rupa bentuknya. Maka hanya mereka yang akrab dengan bacaan cepat atau lambat dapat menjadi penulis yang baik.


Sokrates memang tak menulis apapun...... tapi dia adalah pengecualian dari kasus kita. (**)