Mengapa Kita Tidak Membaca?

Diposting oleh Arsyad Salam | Senin, Januari 28, 2008 | | 0 komentar »


Mengapa kita tidak membaca ?. Barangkali kita belum merasa bahwa membaca merupakan bagian kebutuhan yang penting dalam hidup kita, khususnya membaca buku. Betapa manfaat membaca sangatlah besar. Saya sendiri bukanlah pembaca yang tekun atau setidaknya belum. Padahal orang bijak pernah berkata membaca ibarat membuka jendela dunia. Barangkali beberapa gambaran berikut akan menunjukkan manfaat besar bila kita tekun melakoninya.

Dengan membaca buku saya menjadi tahu bahwa di Kerajaan Makassar dahulu-sekitar abad ke 13 tercatat pernah ada seorang raja bernama Karaeng Pattengaloan. Beliau adalah seorang yang sangat bijak, pandai menulis buku dan fasih berbahasa Spanyol. Baginda telah berhasil mendatangkan teleskop Galileo yang sangat mahal ke Makassar hanya 20 tahun sejak alat itu diciptakan. Melalui buku pula saya menjadi tahu bahwa perdebatan yang berlangsung dalam rapat-rapat BPUPKI di bulan Juni 1945 sungguh adalah perdebatan yang sangat berkualitas. Mungkin belum ada tandingannya hingga sekarang. Bayangkan, rapat itu di bawah todongan senjata tentara Jepang selaku pendiri BPUPKI, namun orang orang yang berdebat di dalamnya sangat independen dan merdeka dalam mengemukakan pendapat dan pikirannya.

Saya juga menjadi tahu melalui buku beberapa sisi gelap dari orang-orang pergerakan yang peran dan jasanya bagi negara sepertinya sengaja direduksi sehingga menimbulkan penafsiran yang sangat minimal seperti Semaun, Tan Malaka, Amir Syarifuddin dan Mohammad Natsir. Dalam buku sejarah resmi mereka ini digambarkan punya hubungan gelap dengan Republik. Semaun adalah aktifis berhaluan kiri seperti Tan Malaka. Amir Syarifuddin dituduh terlibat Madiun Affairs.
Sedang Mohammad Natsir dituding sebagai pendukung gerakan Darul Islam dan Negara Islam Indonesia. Padahal mereka itu adalah tokoh-tokoh revolusi paling konsisten sepanjang hidupnya. Dan jasa mereka terhadap negara tidaklah kecil.

Lagi-lagi melalui buku saya menjadi tahu sifat istimewa kapitalisme Jepang. Kapitalisme para manajer yang menganggap modal sama saja dengan rente yang harus dikembalikan. Kapitalisme macam ini mendudukkan karyawan biasa dalam perusahaan di tempat yang khas. Kalau karyawan di perusahaan Jepang berkata bahwa suatu perusahaan adalah perusahaannya itu berarti hanyalah tempat dia bekerja. Sementara di Eropa, Amerika dan Indonesia itu artinya perusahaan tersebut adalah miliknya. Tidakkah anda heran bila tahu bahwa Soichiro Honda pemilik Honda Corporation hanya memiliki 3 persen saham perusahaan raksasa tersebut ? sedangkan Matsushita pemilik Matshushita Electrik hanya menguasai 6 persen saham perusahaan itu. Anehnya nama mereka menempel menjadi nama perusahaan. Itulah sifat istimewa Kapitalisme Jepang yang bertujuan bukan mengumpulkan modal sebesar-besarnya akan tetapi berusaha mengumpulkan asset sebanyak-banyaknya.

Dari buku pula saya menjadi tahu mengapa bangsa-bangsa Amerika Latin sungguh mudah ditaklukan oleh penguasa Spanyol dahulu. Padahal sebabnya hanya karena hal-hal sepele : kurangnya penguasaan atas informasi. Bangsa-bangsa pribumi di Amerika Latin adalah orang-orang Indian yang gagah berani.
Raja Montezuma adalah salah satunya. Ia adalah penguasa Kerajaan Aztec di Meksiko. Ketika para conquistadores seperti Hernando Cortez melakukan penyerbuan besar-besaran terhadap Meksiko, Raja Montezuma hanya pasrah. Ia menjadi bingung karena menyangka bahwa orang-orang berkuda dari Spanyol itu adalah utusan para dewa yang datang menghukumnya. Ia belum pernah melihat orang-orang berkuda. Ia mengira tentara dan kuda yang ditungganginya itu adalah makhluk yang satu kesatuan. Ia tidak menguasai informasi. Ia kalah.
sedang Mohammad Natsir dituding sebagai pendukung gerakan Darul Islam dan Negara Islam Indonesia. Padahal mereka itu adalah tokoh-tokoh revolusi paling konsisten sepanjang hidupnya. Dan jasa mereka terhadap negara tidaklah kecil.

Saya juga pernah membaca buku Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karangan HAMKA. Terus terang sampai sekarang saya belum pernah membaca rangkaian kata-kata cinta nan indah yang sepadan dengan surat-surat cinta antara Zainuddin dan Hayati seperti dalam buku HAMKA tersebut.


Memang harus diakui kita belum termasuk dalam kategori orang yang membaca. Orang yang membaca masih sangat langka. Kita hanya membaca koran, majalah dan tabloid. Lumayan, supaya tidak ketinggalan informasi. Kita belum bisa mengikuti pola hidup almarhum Prof Rauf Tarimana yang sepanjang hidupnya diisi dengan membaca, membaca dan membaca. Dan itu berarti membaca buku dan faham setelah membacanya. Saya pernah bertanya pada salah seorang dosen Sospol sebuah universitas di daerah ini tentang pembagian kelas masyarakat antara Abangan, Santri dan Priyayi seperti hasil penelitian Clifford Geertz. Dengan senyum seperti orang sabar beliau menjawab terus terang bahwa masyarakat tidak bisa dibagi dengan kelas-kelas seperti itu. Aneh, seorang dosen Sospol sampai tidak tahu Clifford Geertz.


Ada lagi cerita di sebuah SMP. Pada saat Piala Dunia yang lalu, Senegal mengejutkan dunia dengan mempermalukan Perancis pada pertandingan perdana. Seorang siswa kelas satu SMP bertanya kepada gurunya, di benua manakah Senegal itu. Sang guru tampak berpikir keras dan menjawab bahwa Senegal terletak di benua Amerika bagian selatan, karena kulit mereka yang agak kehitam-hitaman. Si murid mengangguk paham. Sang guru rupanya tidak tahu karena tidak membaca bahwa Senegal terletak di Afrika Barat yang juga adalah bekas jajahan Perancis. Kasian kan ?

Pernahkan anda membaca karya-karya pengarang besar seperti Samuel Huntington, John Naisbitt, Francis Fukuyama, Gabriel Garcia Marquez, Rabindranath Tagore, Leo Tolstoy, Shakespeare, Mahatma Gandhi, Boris Pasternak, Ernest Hemingway, Kahlil Gibran, Emha Ainun Nadjib, Amien Rais, WS Rendra, Pramoedya Ananta Toer, Goenawan Mohammad, Eep Saefullah Fattah, William Liddle, Albert Camus dan Juwono Sudarsono ? kalau belum betapa rugi.

Pernah pulakah anda membaca buku-buku seperti Intervista Con La Storia (Wawancara Dengan Sejarah karangan Oriana Fallaci) , The Trial of Socrates (Peradilan Sokrates karangan IF Stone), Apologia (Pidato Pembelaan Sokrates di Mahkamah Athena karangan Plato), Il Principe (Sang Penguasa karangan Niccolo Machiavelli), Petualangan Sherlock Holmes karangan Sir Arthur Conan Doyle atau Max Havelaar karangan Multatuli alias Douwwes Dekker atau Hamlet karangan Shakespeare ? kalau anda belum membacanya, yakinlah kita belum dapat dikatakan sebagai orang yang membuka jendela dunia. (**)

0 komentar