Haram Rokok
Mengharamkan rokok ibarat melarang anak ayam makan di lumbung padi miliknya sendiri. Pabrik rokok ratusan jumlahnya. Menafkahi jutaan karyawannya. Menghidupi petani tembakau, petani cengkeh. Membayar pajak kepada negara triliunan tiap tahun. Kalau mata rantai ini terputus siapa yang merasakan dampaknya? Pasti jutaan keluarga yang bekerja di sektor ini. Mungkin anggota MUI juga makan gaji dari pajak cukai tembakau yang mereka haramkan itu.
Mengenai haramnya rokok, tak semua ulama sependapat. Kalau memang tembakau haram hukumnya, seharusnya sejak agama Islam lahir hukum itu sudah ada. Mengapa baru sekarang? Dengan alasan yang dicari-cari saja?
Haram Golput
Ini yang lebih aneh. Di era Soeharto yang katanya kejam itu, golput alias golongan putih tidak diharamkan hanya dilarang. Artinya, pemerintahan Soeharto lebih melihat golput dari sisi politik kenegaraan, bukan agama. Di era demokrasi seperti sekarang mengharamkan golput seperti menggarami air laut atau membakar matahari.
Konsekwensi dari negara demokratis adalah bahwa setiap warga negara berhak memilih, dipilih maupun tak memilih. Bersikap tidak memilih adalah juga suatu pilihan. Mengaharamkan golput oleh karena itu mengandung suatu paradoks bahwa jika seseorang tidak memilih berarti haram hukumnya. Artinya jika kita tidak menggunakan hak pilih kita tergolong orang-orang berdosa. Beberapa masalah teknis akan timbul menyusul fatwa ini.
Pertama, bagaimana dengan orang-orang yang salah mencontreng saat masuk TPS? Pasti suaranya dianggap batal alias tak memilih. Ini sama saja dengan golput. Juga orang-orang lanjut usia yang dapat dipastikan akan salah contreng. Bagaimana dengan mereka ini? Kalau misalnya di antara calon yang akan dipilih tak ada satupun yang berkenan di hati para pemilih, apa yg harus dilakukan? Tetap memilih meski berbohong pada diri sendiri? Kan berdosa juga?
Kedua, ada pernyataan menarik dari salah seorang anggota MUI saat wawancara dengan sebuah stasiun televisi. Menurutnya dengan mengharamkan golput mereka berharap agar tercipta pemerintahan yang legitimate. Pemerintahan yang kuat karena didukung rakyat melalui pemilihan umum. MUI sepertinya lupa, bahwa ligitimasi suatu pemerintahan tak bisa diukur dengan jumlah dukungan suara dalam pemilu. Pemerintahan yang kuat akan tercipta bila pemimpin yang berkuasa mampu membangun hubungan yang baik dengan rakyat. Di negara totaliter, gaya paksaan memilih orang tertentu dalam pemilu sangat dominan. Tapi apa yang terjadi? Rakyat yang memilih, rakyat juga mengkudeta mereka.
Walhasil MUI sepertinya harus jeli menentukan apa saja yang akan difatwakannya, hingga tidak terkesan sebagai lembaga murahan yang gampang menyatakan halal-haram terhadap sesuatu. Jangan sampai hanya menjadi fatwa angin lalu.